Family 3

Family 3
Just The Four of Us

Monday, December 30, 2013

Mendidik Anak Secara Katolik


 

Mendidik Anak secara Katolik (Aplikasi: Thania, 3th)

Enam tahun lalu, 10 November 2007, salah satu Janji Perkawinan kami adalah “bersedia menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak yang dipercayakan Tuhan dan mendidik mereka menjadi orang Katolik yang setia”. Implementasi janji tersebut pada kenyataannya tidak semudah mengucapkannya di depan altar. Sharing di bawah ini baru sebagian keciiill yang sudah kami terapkan sampai hari ini untuk Cecilia Nathania Witono (3 tahun). Proses belajar ini kami lakukan dari berbagai sumber tapi yang paling terutama adalah Orang Tua kami. Dan yang sangat penting adalah berserah serta mohon petunjuk dan roh kebijaksanaan dari Allah Bapa.

Menurut kami, salah satu kunci dari pendidikan agama di rumah adalah contoh/ teladan dari Orang Tua, membangun kebiasaan serta disiplin dalam penerapannya. Anak, dalam perkembangannya akan mulai belajar dengan meniru Orang Tua atau orang-orang di sekelilingnya.

1.    Baptis

Thania dibaptis saat usianya kira 3 bulan. Alasannya sederhana, ceritanya kami memang baru siap mengekspos thania keluar rumah diatas 3 bulan he3x… Kami sepakat untuk membaptis Thania sejak bayi karena itulah salah satu perwujudan janji perkawinan kami untuk mendidik anak secara Katolik. Thania dibaptis dengan nama Santa Pelindung “Cecilia” (Santa Pelindung Para Seniman & Pemusik). Diperingati oleh Gereja Katolik setiap tanggal 22 November sedangkan Thania lahir tanggal 23 November. Sejak lahir nama baptisnya sudah dicatat di Akta Kelahiran supaya nama tersebut terus menjadi satu kesatuan dengan nama lainnya dalam setiap kesempatan di kemudian hari.

 

2.    Doa Bersama

Kami memiliki kebiasaan untuk doa malam bersama. Jadi sejak Thania masih dalam kandungan, dia sudah terbiasa mendengar orang tuanya berdoa bersama. Setelah lahir, sejak masih bayi, walau thania belum paham, kami tetap membiasakan doa malam bersama di sekeliling tempat tidur (box) thania. Hingga usianya saat ini, kami selalu mengusahakan untuk berdoa malam bersama. Tidak selalu sempurna, karena kadang ada hari-hari Thania sudah sangat mengantuk sehingga dia tidak mampu untuk duduk dan doa bersama, sebisanya kami berdua tetap berdoa di sampingnya.

 

Saat Thania sudah mulai bisa sedikit bicara atau berkomunikasi, kami mulai mengajarkan juga doa makan dan doa bersama sebelum kami berangkat kerja. Pada kesempatan travelling, di dalam pesawat pun kami ajarkan berdoa. Begitu juga saat Misa di gereja.

 

Kami mencontohkan/ mengajarkan membuat tanda salib dan doa-doa singkat ke Thania, biasanya cukup 1 – 2 kalimat selesai. Dengan demikian memudahkannya untuk mengulang kembali doa tersebut. Untuk doa malam atau doa pagi kami berdua melanjutkan dengan doa Salam Maria atau Bapa Kami dimana Thania tetap mendengarkan.

 

Puji Tuhan dengan perkembangannya saat ini, Thania sudah bisa membuat tanda salib (walau belum 100% benar he3x..), di beberapa kesempatan dia sudah bisa mengucapkan doa makan atau doa malam sendiri, beberapa kali Thania yang mengingatkan kami bila berangkat kerja belum doa pagi, sudah bisa doa Salam Maria secara runut walau belum sempurna pengucapannya.

 

3.    Ke Gereja

Membawa Thania ke gereja dimulai sejak Thania sudah dibaptis. Waktu masih bayi, kami selalu mengusahakan duduk di dalam gereja, bahkan saat Thania masih tidur di stroller, kami biasanya mengambil tempat di pojok dekat dinding supaya tidak mengganggu Umat lainnya. Saat Thania mulai bisa digendong, kami mulai duduk kembali ke bangku Umat. Saat awal Thania mulai makan, kami harus duduk di samping gereja bagian luar, karena jadwal misa yang pagi biasanya Thania belum sempat makan di rumah jadilah kami harus menyuapi di luar. Sekarang, setelah Thania bisa bangun lebih pagi dan sarapan di rumah, kami bisa kembali ke bangku Umat di dalam Gereja.

 

Prinsip yang kami ajarkan di Gereja adalah selama Misa, Thania harus tetap duduk bersama kami, tidak bermain atau lari kemana-mana. Konsekuensinya, kami harus menyiapkan “sambilan” untuk mengisi waktunya selama Misa yang kurang 1.5 jam tersebut. Mulai dari membawakan snack dan susu UHT-nya, membelikannya Alkitab bergambar untuk Anak-Anak, termasuk pada salah satu Misa Pekan Suci kami harus membawakan kertas bergambar untuk diwarnai. Memang di beberapa gereja, Pastor Parokinya menghimbau untuk tidak membawa makanan ke gereja, tapi demi mendidik anak dengan liturgi Gereja dan membangun kebiasaan bahwa ke Gereja berarti duduk di dalam bersama Orang Tua, membuat bagi kami urusan membawa makanan ini jadi prioritas ke sekian. Kami percaya akan tiba usianya dimana semua “sambilan” tersebut bisa di-stop dan pada waktu tersebut anak sudah terbangun kebiasaan ke gereja yang baik dan memahami liturgi gereja Katolik. Dengan anak duduk di gereja bersama Orang Tua, kita pun bisa mengikuti Misa dengan lebih tenang.

 

Selama di Gereja, kami sengaja memperlihatkan dan membangun ketertarikan kepada Thania unsur-unsur Liturgi misalnya Romo, Misdinar, Dirigen, Lektor, Gong dan kerincingan saat Doa Syukur Agung, bila ada Bapa Uskup dengan tongkatnya, membawanya ke depan saat pemberkatan anak, dan mengikutkannya saat anak-anak sekolah Minggu bernyanyi di depan (walau pun sampai sekarang, Thania belum sekolah minggu). Bersyukur banget bahwa liturgi Gereja Katolik itu penuh warna dan banyak unsurnya.

 

Puji Tuhan sampai usianya saat ini, Thania selalu mau dan “betah” ikut misa hari minggu. Tahun 2013 ini, pertama kalinya, Thania kami ajak ikut Misa Kamis Putih, Malam Paska, dan Malam Natal yang durasinya agak lebih lama dan syukurlah Thania bisa mengikuti semua liturgi dengan baik dan tetap duduk bersama kami. Sekarang kalau maju menerima berkat sudah jalan sendiri dengan tangan sikap berdoa. Kalau habis berkat, nagih minta nyanyi di depan, walau hanya lip sing. Sudah bisa menyanyikan lagu “Salam Damai”, “Tuhan Kasihanilah Kami” dan “Alleluya”. Sudah bisa menirukan orang berdoa sambil berlutut, mengangkat tangan saat konsekrasi, termasuk berlutut sebelum masuk atau keluar dari bangku.

3 tahun dan jalan masih panjang bagi kami untuk mendidik anak-anak yang TUHAN percayakan, masih panjang juga perjalanan belajar kami untuk bisa menjadi Orang Tua yang dapat diteladani. Semoga keluarga kami kelak bisa menjadi serupa dengan Keluarga Kudus (Bunda Maria, Santo Yusuf dan Yesus).

Selamat Merayakan Peringatan Keluarga Kudus dari Nazareth – 29 Desember 2013

Sunday, December 22, 2013

Resensi Buku : LEAN IN - Women, Work, and The Will To Lead




Lean In – Women , Work and The Will To Lead

Kali ini saya akan menulis resensi buku diatas, mudah2an ini bukan resensi pertama saya di blog ini J

Buku ini ditulis oleh Sheryl  Sanberg , Chief Operating Officer di Facebook , salah satu 50 wanita paling berpengaruh menurut majalah Fortune dan 100 Orang paling berpengaruh versi majalah Time.

Pada Tahun 2010, ia memberikan TEDTalk dimana ia menyatakan bahwa wanita, secara tak sadar menahan diri dalam karirnya. Dia menulis buku ini berdasarkan pengalamannya sendiri dalam mengambil keputusan, kesalahan-kesalahan dan perjuangannya tiap hari untuk dapat membuat keputusan yang tepat untuk diri nya sendiri, untuk karirnya dan untuk keluarganya.

Saya  rasa buku ini cocok dibaca oleh ibu-ibu muda yang baru meniti karir dan baru dalam membentuk keluarga. Banyak ibu muda seperti saya yang pasti sering sekali menghadapi dilema dalam bekerja. Galau… bagaimana menyiasati dan menyeimbangkan semuanya.

Karena saya sudah selesai membaca buku ini, maka saya hanya akan menghighlight bagian-bagian yang saya rasa menarik.

Fakta di Amerika 57% dari lulusan undergraduate dan 60% dari lulusan Master’s degree adalah wanita, namun saat di dunia kerja wanita memiliki penghasilan 77% dari pria .

Dewasa ini, sudah banyak sekali kesempatan yang dibuka bagi wanita di dunia kerja, namun ternyata halangan kemajuan wanita, bukan lagi dari luar, bukan lagi diskriminasi dari para pria, namun ternyata halangan terbesar adalah dari diri wanita itu sendiri.

Sheryl mencontohkan bagaimana sebagian wanita kurang memiliki ambisi dalam bekerja, dalam rapat-rapat mereka cenderung untuk hanya diam dan takut dalam mengemukakan pendapatnya.

Dalam acara-acara jamuan makan malam, dimana para pria akan mengambil tempat strategis di meja kehormatan, berusaha untuk dapat menyapa para direksi, para wanita akan berkumpul di meja belakang bersama para wanita lainnya. Padahal tidak ada larangan bagi wanita untuk duduk di meja depan.

Hal lain mengenai gaji, pria berani untuk meminta gaji lebih, namun biasanya wanita lebih menahan diri untuk hal ini.

Hal yang menarik adalah ketika seorang pria diberikan suatu pekerjaan yang menantang, pria cenderung untuk mengoverestimate kemampuannya.. Para pria akan yakin 100%mereka mampu, walaupun sebenarnya  diatas kertas kemampuan mereka hanya 60% saja. Berbeda dari para wanita yang diberikan tantangan baru tersebut, walaupun para wanita tersebut kemampuannya 80% diatas kertas, namun mereka justru akan mengunderestimate kemampuan diri sendiri dan para wanita justru fokus kepada kelemahan2 yang mereka miliki. Dibandingkan pria yang fokus pada kekuatannya, para wanita cenderung lebih fokus kepada kelemahan yang mereka miliki walaupun hanya sedikit.

Pola pikir seperti ini yang harus dirubah oleh wanita di dunia kerja.

Memang tidak mudah menjadi wanita bekerja.. Harus ada dukungan dari suami.. Itu pasti.  Hal ini disampaikan dalam bab “Make your partner a real partner”

Disini Sheryl menyatakan bahwa ia dan suaminya membagi tugas tugas rumah tangga dan pengasuhan anak 50%: 50%. Di awal semua jadwal sudah dipersiapkan, siapa yang pada hari apa akan menjemput dan mengantar anak. Siapa yang akan menemani saat ada kegiatan dengan anak.

Memang harus ada komitmen, sesibuk apapun Sheryl, ia mengusahakan sudah di rumah saat makan malam. Dan pasti ada juga saat saat ia rapat sampai larut malam, dimana suaminya lah yang akan makan bersama anak-anak. Begitu pula sebaliknya saat suaminya sibuk.

Tentu saja hal ini harus disepakati diawal bersama dengan pasangan hidup .

Sebagai wanita yang kodratnya adalah hamil dan melahirkan, Sheryl pun pernah merasakan set back dalam karirnya. Saat merencanakan hamil anak kedua, ia pernah ditawari posisi sebagai COO LinkedIn. Posisi yang harus ia tolak karena lebih mementingkan program kehamilan kedua. Namun keputusan seperti itu harus dijalani tanpa terlalu banyak penyesalan.

Buktinya setelah melahirkan anak kedua, ia ditawari posisi sebagai COO Facebook.

Bab “It’s a Jungle Gym not a Ladder” Sheryl memberikan nasihat mengenai karir, bahwa dalam karir sekarang ini, tidak seperti tangga ke atas, namun kadang kita harus menerima rotasi kesamping, bahkan terkadang harus turun tangga untuk mencapai posisi yang baik. Sebagai wanita juga harus terbuka terhadap tiap kesempatan.

Nasehat yang ia sampaikan dalam bab “Don’t leave Before you Leave”, adalah bahwa bila belum saatnya harus berhenti dari perkerjaan.. jangan berhenti duluan, jangan kalah duluan.

Beberapa wanita yang bahkan belum menikah dan punya anak, menahan diri dari karirnya dengan alasan bahwa mereka suatu hari akan menikah dan punya anak, dan pasti mereka tak akan bisa bekerja penuh tantangan.. Helloo … punya pacar pun belum kenapa mikir sejauh itu..

Ada juga ketika menikah langsung menolak tantangan dalam bekerja, padahal belum hamil, dan kalaupun hamil masih ada 9 bulan untuk bisa bekerja dengan baik.

Jadi jangan berhenti.. sebelum memang harus berhenti..

Ini agak jleb juga sih buat saya, yang kadang suka juga berpikir seperti ini.. padahal mungkin lebih baik untuk memikirkannya nanti saja kalau memang sudah kejadian..

Dalam “The Myth of Doing It all”, Sheryl menceritakan awal-awal menjadi seorang ibu di Facebook.

Ia memiliki karir yang bagus dan ketika punya anak, ia pun tak ingin tampil tidak profesional , dan telihat seperti “emak-emak” yang tidak kredibel dalam bekerja. Alhasil ia pun harus bekerja lebih keras dari rekan prianya, bangun jam 5 pagi untuk membalas email, sambil menyusui. Bangun lebih malam, setelah menyusui bekerja lagi. Terkadang teleconference sambil menyusui dan mengurus bayi. Ia ingin tetap perform dalam pekerjaan. 6 bulan pertama nya sangatlah berat.

Namun lambat laun, Ia mulai bisa membagi waktunya.. dan menerima bahwa memang tidak semua bisa dilakukan .

 Rasa bersalah meninggalkan anak ketika harus keluar kota ataupun rapat sampai larut malam akan selalu ada.. itulah bedanya dengan pria.. Pria tidak punya rasa bersalah seperti itu ketika harus dinas ataupun lembur.

Selalu ada semacam timbangan yang seolah olah menimbang waktu wanita pekerja dengan anak-anak mereka.

Suatu penelitian dari National Institute of Child Health and Human Development mengenai pengasuhan dan perkembangan anak, terutama mengenai pengasuhan ibu yang ekslusif vs child care, yang meneliti seribuan anak-anak selama 15 tahun menyimpulkan bahwa, anak yang diasuh secara eksklusif oleh ibunya saja, tidak memiliki perbedaan perkembangan dengan anak yang diasuh dengan bantuan orang lain (misal nanny atau child care). Tidak ada perbedaan kemampuan kognitif, bahasa, sosial, dan kemampuan membina hubungan.

Faktor-faktor dalam pola pengasuhan – termasuk peranan aktif ayah yang responsif dan positif, ibu yang memiliki sikap “membebaskan sikap anak” dan orangtua yang harmonis, lebih mempengaruhi perkembangan anak dua sampai tiga kali lipat dibandingkan pola pengasuhan lainnya.

Jadi hal ini harus dibaca pelan-pelan nih “ Pengasuhan ekslusif oleh ibu tidak berpengaruh terhadap lebih baik atau lebih buruk perkembangan seorang anak”  sooo tidak ada alasan bagi seorang ibu untuk merasa bahwa mereka membahayakan perkembangan anak dengan memutuskan untuk bekerja.

Tujuan akhir dari Sheryl adalah bahwa wanita harus lebih berani dalam mengejar karirnya, harus berani dalam berdiskusi dengan pasangan hidup akan peranan seimbang dalam berkarir dan rumah tangga.. Karena bila makin banyak wanita di posisi atas, maka diharapkan akan lebih banyak juga kebijakan pro wanita dalam lingkungan kerja, yang pada akhirnya dapat mendukung wanita dalam berkarir. Karena kalau bukan wanita siapa lagi yang akan memperjuangkan kesejahteraan wanita dalam pekerjaan.

Namun memang buku ini lebih applied pada wanita-wanita yang memang memiliki pilihan untuk berkarir. Beberapa wanita tidak punya pilihan seperti itu dimana memang mereka tidak punya biaya untuk childcare yang baik untuk mendukung karirnya, sehingga memang opsinya hanya sebagai ibu yang dirumah.

Tidaksemua wanita memiliki ambisi untuk mencapai posisi puncak dalam bekerja.. Hal itu tidak masalah, yang penting adalah ketika sudah menemukan sesuatu yang disukai untuk dikerjakan, apapun itu.. Lean In.. atau dalam hal ini terjemahan bebas saya untuk Lean in adalah.. kalau sudah masuk di suatu pekerjaan, maka jangan hanya diluar saja, jangan dikulitnya saja, tapi harus benar-benar “lean in” Nyemplung kali ye.. sampai basahhhh.
Kalo penasaran bukunya bisa dibeli di Books and Beyond.. Harga 180rb setelah diskon natal 20%. 180 halaman, Bahasa Inggris.

Happy reading :)